Imam Abdullah bin Abubakar Alaydrus Al-Akbar

Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus Al-Akbar dilahirkan di kota Tarim pada tanggal 10 Dzulhijjah 811 H/1391 M. julukannya Abu Muhammad dan gelarnya Alaydrus, yang artinya “Ketua kalangan Tasawuf”. Beliau adalah Imam para wali dan orang-orang shaleh pada masanya.

Habib Abdullah belajar Al-Qur’an pada seorang guru besar yaitu Syekh Muhammad bin Umar Ba’alawi. Sedangkan ilmu fiqh dipelajarinya dari guru-guru ahli fiqh, antara lain Syekh Sa’ad bin Ubaidillah bin Abu Ubaid, Syekh Abdullah Bahrawah, Syekh Abdullah Bagasyin, Syekh Abdullah bin Muhammad bin Amar, dan masih banyak lagi. Kitab Tanbih dan Minhaj adalah dua diantara kitab-kitab yang beliau pelajari dan dalami. Beliau sangat senang membaca kedua kitab tersebut dan memang beliau orang yang sangat gemar membaca.

Kepada gurunya, Al-Imam Asy-syekh Umar Muhdhar, habib mempelajari ilmu tasawuf dan membekali dirinya sebagai seorang sufi. Beliau hamper hafal kitab-kitab karangan Imam Ghazali, terutama kitab Ihya ‘Ulumuddin, yang telah pindah ke batinnya. Dan ia banyak memuji pengarangnya.

Habib Abdullah Alaydrus mempunyai kata-kata hikmah yang sangat tinggi nilainya mengenai tauhid. Diantaranya “Bagi saya, sama saja pujian dan makian, lapar atau kenyang, pakaian mewah atau pakaina rendah, lima ratus dinar atau dua dinar. Sejak kecil, hati saya tidak pernah condong kepada selain Allah SWT. Dan bagaimana bisa tenang apabila badan saya berbalik ke kanan saya melihat surga, dan apabila berbalik ke kiri saya melihat neraka”. Beliau sangat takut kepada Allah SWT dan sangat tawadhu, merendahkan hati.

Demikian habib memerangi hawa nafsu keduniawian sejak usia enam tahun. Selama dua tahun beliau pernah berpuasa yang buka puasanya tidak lebih dari dua butir kurma, kecuali dimalam-malam tertentu saat ibunya membawa sedikit makanan untuknya. Beliau memakannya semata-mata untuk menyenangkan hati ibunya.

Gurunya Habib Syekh Umar Muhdhar berkata ”Aku mengawinkan putriku, Aisyah, dengan keponakanku, Habib Abdullah Alaydrus Al-Akbar, disebabkan aku mendapat isyarat dari sesepuhku (pendahuluku)”. Sedangkan Habib Muhammad bin Hassan Al-Mu’allim Ba’alawi mengatakan, Al-Habib Abdullah Alaydrus Al-Akbar mendapatkan sesuatu (maqam) yang tidak didapati oleh orang lain, baik sebelum maupun sesudahnya”.

Syekh Abdurrahman Al-Khatib, pengarang kitab Al-Jauhar, tidak menyebutkan seorangpun dalam kitabnya dari yang hidup kecuali Al-Habib Al-Imam Alaydrus Al-Akbar.

Beberapa pengarang kitab yang bermutu memuji dan meriwayatkan beliau. Diantaranya, Al-Ya’I, juga murid beliau, Al-Imam Al-Habib Umar bin Abdurrahman Ba’alawi dalam kitabnya Al-Hamrah, dan Syekh Abdillah bin Abdurrahman Bawazier dalam kitab Al-Tuhfah.

Ibu beliau bernama Maryam, putrid seorang zuhud dan shaleh, Syekh Ahmad bin Muhammad Barusyaid. Mengenai mertuanya ini, Al-Habib Muhammad bin Hassan Al-Muallim mengatakan, “Bila engkau ingin melihat ahli surga, lihatlah Muhammad Barusyaid”. (Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Habib Muhamad bin Ali Maula Aidied).

Sewaktu Al-Habib Al-Imam Abdurrahman bin Muhammad As-Seggaf wafat, usia Al-Habib Abdullah Alaydrus Al-Akbar 8,5 tahun. Dan pada waktu ayahnya wafat beliau berusia 11 tahun. Sepeninggal ayahnya, Habib Abdullah Alaydrus tinggal dan dididik oleh pamannya, Syekh Al-Habib Umar Muhdhar bin Abdurrahman As-Seggaf, yang kemudian menikahkannya dengan putrinya, Aisyah. Ketika Al-Habib Umar Muhdhar wafat, usia Al-Habib Abdulah Alaydrus kurang lebih 23 tahun.

Al-Habib Al-Imam Abdullah bin Abubakar Alaydrus Al-Akbar wafat dalam usia 54 tahun pada hari ahad sebelum waktu dzuhur tanggal 12 Ramadhan 865 H / 1445 M. Dalam perjalanan dakwahnya ke kota Syihr, tepatnya di daerah Abul, dan dimakamkan di kota Tarim. Diatas pusaranya dibangun kubah, beliau meninggalkan 8 anak, empat putra dan empat putrid. Anak-anaknya yang putra adalah Abubakar Al-‘Adni, Alwi, Syekh, dan Husain, sedangkan yang putrid adalah Rogayah, Khadijah, Ummu Kultsum, dan Bahiya.

Diposting oleh MU-MHU HADDAD

Sekilas Biografi Al-Imam Abdullah Al-Haddad (Shohibur Raatib Al-Haddad)

Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-haddad, lahir hari Rabu, Malam Kamis tanggal 5 Bulan Syafar 1044 H di Desa Sabir di Kota Tarim, wilayah Hadhromaut, Negeri Yaman.

Nasab

Beliau adalah seorang Imam Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-haddad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shôhib Mirbath bin Ali Khôli’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shôhib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhâjir Ilallôh Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqîb bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Jakfar Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

Orang-tuanya

Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad, Ayah Syaikh Abdullah Al-Haddad dikenal sebagai seorang yang saleh. Lahir dan tumbuh di kota Tarim, Sayyid Alwy, sejak kecil berada di bawah asuhan ibunya Syarifah Salwa, yang dikenal sebagai wanita ahli ma’rifah dan wilayah. Bahkan Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad sendiri banyak meriwayatkan kekeramatannya. Kakek Al-Haddad dari sisi ibunya ialah Syaikh Umar bin Ahmad Al-Manfar Ba Alawy yang termasuk ulama yang mencapai derajat ma’rifah sempurna.

Suatu hari Sayyid Alwy bin Muhammad Al-Haddad mendatangi rumah Al-Arif Billah Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, pada waktu itu ia belum berkeluarga, lalu ia meminta Syaikh Ahmad Al-Habsy mendoakannya, lalu Syaikh Ahmad berkata kepadanya, ”Anakmu adalah anakku, di antara mereka ada keberkahan”. Kemudian ia menikah dengan cucu Syaikh Ahmad Al-Habsy, Salma binti Idrus bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Al-Habib Idrus adalah saudara dari Al-Habib Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy. Yang mana Al-Habib Husein ini adalah kakek dari Al-Arifbillah Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy (Mu’alif Simtud Durror). Maka lahirlah dari pernikahan itu Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad. Ketika Syaikh Al-haddad lahir ayahnya berujar, “Aku sebelumnya tidak mengerti makna tersirat yang ducapkan Syaikh Ahmad Al-Habsy terdahulu, setelah lahirnya Abdullah, aku baru mengerti, aku melihat pada dirinya tanda-tanda sinar Al-wilayah (kewalian)”.

Masa Kecil

Dari semenjak kecil begitu banyak perhatian yang beliau dapatkan dari Allah. Allah menjaga pandangan beliau dari segala apa yang diharomkan. Penglihatan lahiriah Beliau diambil oleh Allah dan diganti oleh penglihatan batin yang jauh yang lebih kuat dan berharga. Yang mana hal itu merupakan salah satu pendorong beliau lebih giat dan tekun dalam mencari cahaya Allah menuntut ilmu agama.

Pada umur 4 tahun beliau terkena penyakit cacar sehingga menyebabkannya buta. Cacat yang beliau derita telah membawa hikmah, beliau tidak bermain sebagaimana anak kecil sebayanya, beliau habiskan waktunya dengan menghapal Al-Quran, mujahaddah al-nafs (beribadah dengan tekun melawan hawa nafsu) dan mencari ilmu. Sungguh sangat mengherankan seakan-akan anak kecil ini tahu bahwa ia tidak dilahirkan untuk yang lain, tetapi untuk mengabdi kepada Allah SWT.

Dakwahnya

Berkat ketekunan dan akhlakul karimah yang beliau miliki pada saat usia yang sangat dini, beliau dinobatkan oleh Allah dan guru-guru beliau sebagai da’i, yang menjadikan nama beliau harum di seluruh penjuru wilayah Hadhromaut dan mengundang datangnya para murid yang berminat besar dalam mencari ilmu. Mereka ini tidak datang hanya dari Hadhromaut tetapi juga datang dari luar Hadhromaut. Mereka datang dengan tujuan menimba ilmu, mendengar nasihat dan wejangan serta tabarukan (mencari berkah), memohon doa dari Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Di antara murid-murid senior Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah putranya, Al-Habib Hasan bin Abdullah bin Alwy Al-Haddad, Al-Habib Ahmad bin Zein bin Alwy bin Ahmad bin Muhammad Al-Habsy, Al-Habib Ahmad bin Abdullah Ba-Faqih, Al-Habib Abdurrohman bin Abdullah Bilfaqih, dll.

Selain mengkader pakar-pakar ilmu agama, mencetak generasi unggulan yang diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kakek beliau, Rosullullah SAW, beliau juga aktif merangkum dan menyusun buku-buku nasihat dan wejangan baik dalam bentuk kitab, koresponden (surat-menyurat) atau dalam bentuk syair sehingga banyak buku-buku beliau yang terbit dan dicetak, dipelajari dan diajarkan, dibaca dan dialihbahasakan, sehingga ilmu beliau benar-benar ilmu yang bermanfaat. Tidak lupa beliau juga menyusun wirid-wirid yang dipergunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bermanfaat untuk agama, dunia dan akhirat, salah satunya yang agung dan terkenal adalah Rotib ini. Rotib ini disusun oleh beliau dimalam Lailatul Qodar tahun 1071 H.

Akhlaq dan Budi Pekerti

Al-Imam Al-Haddad (rahimahullah) memiliki perwatakan badan yang tinggi, berdada bidang, tidak terlalu gempal, berkulit putih, sangat berhaibah dan tidak pula di wajahnya kesan mahupun parut cacar.

Wajahnya sentiasa manis dan menggembirakan orang lain di dalam majlisnya. Ketawanya sekadar senyuman manis; apabila beliau gembira dan girang, wajahnya bercahaya bagaikan bulan. Majlis kendalian beliau sentiasa tenang dan penuh kehormatan sehinggakan tidak terdapat hadhirin berbicara mahupun bergerak keterlaluan bagaikan terletak seekor burung di atas kepala mereka.

Mereka yang menghadhiri ke majlis Al-Habib bagaikan terlupa kehidupan dunia bahkan terkadang Si-lapar lupa hal kelaparannya; Si-sakit hilang sakitnya; Si-demam sembuh dari demamnya. Ini dibuktikan apabila tiada seorang pun yang yang sanggup meninggalkan majlisnya.

Al-Imam sentiasa berbicara dengan orang lain menurut kadar akal mereka dan sentiasa memberi hak yang sesuai dengan taraf kedudukan masing-masing. Sehinggakan apabila dikunjungi pembesar, beliau memberi haknya sebagai pembesar; kiranya didatangi orang lemah, dilayani dengan penuh mulia dan dijaga hatinya. Apatah lagi kepada Si-miskin.

Beliau amat mencintai para penuntut ilmu dan mereka yang gemar kepada alam akhirat. Al-Habib tidak pernah jemu terhadap ahli-ahli majlisnya bahkan sentiasa diutamakan mereka dengan kaseh sayang serta penuh rahmah; tanpa melalaikan beliau dari mengingati Allah walau sedetik. Beliau pernah menegaskan “Tiada seorang pun yang berada dimajlisku mengganguku dari mengingati Allah”.

Majlis Al-Imam sentiasa dipenuhi dengan pembacaan kitab-kitab yang bermanfaat, perbincangan dalam soal keagamaan sehingga para hadhirin sama ada yang alim ataupun jahil tidak akan berbicara perkara yang mengakibatkan dosa seperti mengumpat ataupun mencaci. Bahkan tidak terdapat juga perbicaraan kosong yang tidak menghasilkan faedah. Apa yang ditutur hanyalah zikir, diskusi keagamaan, nasihat untuk muslimin, serta rayuan kepada mereka dan selainnya supaya beramal soleh. Inilah yang ditegaskan oleh beliau “Tiada seorang pun yang patut menyoal hal keduniaan atau menyebut tentangnya kerana yang demikian adalah tidak wajar; sewajibnya masa diperuntuk sepenuhnya untuk akhirat sahaja. Silalah bincang perihal keduniaan dengan selain dariku.”

Al-Habib (rahimahullah) adalah contoh bagi insan dalam soal perbicaraan mahupun amalan; mencerminkan akhlak junjungan mulia dan tabiat Al-Muhammadiah yang mengalir dalam hidup beliau. Beliau memiliki semangat yang tinggi dan azam yang kuat dalam hal keagamaan. Al-Imam juga sentiasa menangani sebarang urusan dengan penuh keadilan dengan menghindari pujian atau keutamaan dari oramg lain; bahkan beliau sentiasa mempercepatkan segala tugasnya tanpa membuang masa. Beliau bersifat mulia dan pemurah lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan. Ciri inilah menyebabkan ramai orang dari pelusuk kampung sering berbuka puasa bersama beliau di rumahnya dengan hidangan yang tidak pernah putus semata mata mencari barakah Al-Imam.

Al-Imam menyatakan “Sesuap makanan yang dihadiahkan atau disedekahkan mampu menolak kesengsaraan”. Katanya lagi “Kiranya ditangan kita ada kemampuan, nescaya segala keperluan fakir miskin dipenuhi, sesungguhnya permulaan agama ini tidak akan terdiri melainkan dengan kelemahan Muslimin”.

Beliau adalah seorang yang memiliki hati yang amat suci, sentiasa sabar terhadap sikap buruk dari yang selainnya serta tidak pernah merasa marah. Kalaupun ia memarahi, bukan kerana peribadi seseorang tetapi sebab amalan mungkarnya yang telah membuat Al-Imam benar-benar marah. Inilah yang ditegaskan oleh Al-Habib “Adapun segala kesalahan berkait dengan hak aku, aku telah maafkan; tetapi hak Allah sesungguhnya tidak akan dimaafkan”.

Al-Imam amatlah menegah dari mendoa’ agar keburukan dilanda orang yang menzalimi mereka. Sehingga bersama beliau terdapat seorang pembantu yang terkadangkala melakukan kesilapan yang boleh menyebabkan kemarahan Al-Imam. Namun beliau menahan marahnya; bahkan kepada si-Pembantu itu diberi hadiah oleh Al-Habib untuk meredakan rasa marah beliau sehinggakan pembantunya berkata: “alangkah baiknya jika Al-Imam sentiasa memarahiku”.

Segala pengurusan hidupnya berlandaskan sunnah; kehidupannya penuh dengan keilmuan ditambah pula dengan sifat wara’. Apabila beliau memberi upah dan sewa sentiasa dengan jumlah yang lebih dari asal tanpa diminta. Kesenangannya adalah membina dan mengimarahkan masjid. Di Nuwaidarah dibinanya masjid bernama Al-Awwabin begitu juga, Masjid Ba-Alawi di Seiyoun, Masjid Al-Abrar di As-Sabir, Masjid Al-Fatah di Al-Hawi, Masjid Al-Abdal di Shibam, Masjid Al-Asrar di Madudah dan banyak lagi.

Diantara sifat Al-Imam termasuk tawaadu’ (merendah diri). Ini terselah pada kata-katanya, syair-syairnya dan tulisannya. Al-Imam pernah mengutusi Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Aidarus. “Doailah untuk saudaramu ini yang lemah semoga diampuni Allah”

Wafatnya

Beliau wafat hari Senin, malam Selasa, tanggal 7 Dhul-Qo’dah 1132 H, dalam usia 98 tahun. Beliau disemayamkan di pemakaman Zambal, di Kota Tarim, Hadhromaut, Yaman. Semoga Allah melimpahkan rohmat-Nya kepada beliau juga kita yang ditinggalkannya.

Habib Abdullah Al Haddad dimata Para Ulama

Al-Arifbillah Quthbil Anfas Al-Imam Habib Umar bin Abdurrohman Al-Athos ra. mengatakan, “Al-Habib Abdullah Al-Haddad ibarat pakaian yang dilipat dan baru dibuka di zaman ini, sebab beliau termasuk orang terdahulu, hanya saja ditunda kehidupan beliau demi kebahagiaan umat di zaman ini (abad 12 H)”.

Al-Imam Arifbillah Al-Habib Ali bin Abdullah Al-Idrus ra. mengatakan, “Sayyid Abdullah bin Alwy Al-Haddad adalah Sultan seluruh golongan Ba Alawy”.

Al-Imam Arifbillah Muhammad bin Abdurrohman Madehej ra. mengatakan, “Mutiara ucapan Al-Habib Abdullah Al-Haddad merupakan obat bagi mereka yang mempunyai hati cemerlang sebab mutiara beliau segar dan baru, langsung dari Allah SWT. Di zaman sekarang ini kamu jangan tertipu dengan siapapun, walaupun kamu sudah melihat dia sudah memperlihatkan banyak melakukan amal ibadah dan menampakkan karomah, sesungguhnya orang zaman sekarang tidak mampu berbuat apa-apa jika mereka tidak berhubungan (kontak hati) dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebab Allah SWT telah menghibahkan kepada beliau banyak hal yang tidak mungkin dapat diukur.”

Al-Imam Abdullah bin Ahmad Bafaqih ra. mengatakan, “Sejak kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad bila matahari mulai menyising, mencari beberapa masjid yang ada di kota Tarim untuk sholat sunnah 100 hingga 200 raka’at kemudian berdoa dan sering membaca Yasin sambil menangis. Al-Habib Abdullah Al-Haddad telah mendapat anugrah (fath) dari Allah sejak masa kecilnya”.

Sayyid Syaikh Al-Imam Khoir Al-Diin Al-Dzarkali ra. menyebut Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai fadhillun min ahli Tarim (orang utama dari Kota Tarim).

Al-Habib Muhammad bin Zein bin Smith ra. berkata, “Masa kecil Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah masa kecil yang unik. Uniknya semasa kecil beliau sudah mampu mendiskusikan masalah-masalah sufistik yang sulit seperti mengaji dan mengkaji pemikiran Syaikh Ibnu Al-Faridh, Ibnu Aroby, Ibnu Athoilah dan kitab-kitab Al-Ghodzali. Beliau tumbuh dari fitroh yang asli dan sempurna dalam kemanusiaannya, wataknya dan kepribadiannya”.

Al-Habib Hasan bin Alwy bin Awudh Bahsin ra. mengatakan, “Bahwa Allah telah mengumpulkan pada diri Al-Habib Al-Haddad syarat-syarat Al-Quthbaniyyah.”

Al-Habib Abu Bakar bin Said Al-Jufri ra. berkata tentang majelis Al-Habib Abdullah Al-Haddad sebagai majelis ilmu tanpa belajar (ilmun billa ta’alum) dan merupakan kebaikan secara menyeluruh. Dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan, “Aku telah berkumpul dengan lebih dari 40 Waliyullah, tetapi aku tidak pernah menyaksikan yang seperti Al-Habib Abdullah Al-Haddad dan tidak ada pula yang mengunggulinya, beliau adalah Nafs Rohmani, bahwa Al-Habib Abdullah Al-Haddad adalah asal dan tiada segala sesuatu kecuali dari dirinya.”

Seorang guru Masjidil Harom dan Nabawi, Syaikh Syihab Ahmad al-Tanbakati ra. berkata, “Aku dulu sangat ber-ta’alluq (bergantung) kepada Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani. Kadang-kadang dia tampak di hadapan mataku. Akan tetapi setelah aku ber-intima’ (condong) kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad, maka aku tidak lagi melihatnya. Kejadian ini aku sampaikan kepada Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Beliau berkata,’Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani di sisi kami bagaikan ayah. Bila yang satu ghoib (tidak terlihat), maka akan diganti dengan yang lainnya. Allah lebih mengetahui.’ Maka semenjak itu aku ber-ta’alluq kepadanya.”

Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi ra. seorang murid Al-Habib Abdullah Al-Haddad yang mendapat mandat besar dari beliau, menyatakan kekagumannya terhadap gurunya dengan mengatakan, ”Seandainya aku dan tuanku Al-Habib Abdullah Al-Haddad ziaroh ke makam, kemudian beliau mengatakan kepada orang-orang yang mati untuk bangkit dari kuburnya, pasti mereka akan bangkit sebagai orang-orang hidup dengan izin Allah. Karena aku menyaksikan sendiri bagaimana dia setiap hari telah mampu menghidupkan orang-orang yang bodoh dan lupa dengan cahaya ilmu dan nasihat. Beliau adalah lauatan ilmu pengetahuan yang tiada bertepi, yang sampai pada tingkatan Mujtahid dalam ilmu-ilmu Islam, Iman dan Ihsan. Beliau adalah mujaddid pada ilmu-ilmu tersebut bagi penghuni zaman ini. ”

Syaikh Abdurrohman Al-Baiti ra. pernah berziaroh bersama Al-Habib Abdullah Al-Haddad ke makam Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawy, dalam hatinya terbetik sebuah pertanyaan ketika sedang berziaroh, “Bila dalam sebuah majelis zikir para sufi hadir Al-Faqih Al-Muqaddam, Syaikh Abdurrohman Asseqaff, Syaikh Umar al-Mukhdor, Syaikh Abdullah Al-Idrus, Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan yang semisal setara dengan mereka, mana diantara mereka yang akan berada di baris depan? Pada waktu itu guruku, Al-Habib Abdullah Al-Haddad, menyingkap apa yang ada dibenakku, kemudian dia mengatakan, ‘Saya adalah jalan keluar bagi mereka, dan tiada seseorang yang bisa masuk kepada mereka kecuali melaluiku.’ Setelah itu aku memahami bahwa beliau Al-Habib Abdullah Al-Haddad, adalah dari abad 2 H, yang diakhirkan kemunculannya oleh Allah SWT pada abad ini sebagai rohmat bagi penghuninya.”

Al-Habib Ahmad bin Umar bin Semith ra. mengatakan, “Bahwa Allah memudahkan bagi pembaca karya-karya Al-Habib Abdullah Al-Haddad untuk mendapat pemahaman (futuh), dan berkah membaca karyanya Allah memudahkan segala urusannya agama, dunia dan akhirat, serta akan diberi ‘Afiat (kesejahteraan) yang sempurna dan besar kepadanya.”

Al-Habib Thohir bin Umar Al-haddad ra. mengatakan, “Semoga Allah mencurahkan kebahagiaan dan kelapangan, serta rezeki yang halal, banyak dan memudahkannya, bagi mereka yang hendak membaca karya-karya Al-Quthb Aqthob wal Ghouts Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Haddad ra.”

Al-Habib Umar bin Zain bin Semith ra. mengatakan bahwa seseorang yang hidup sezaman dengan Al-Habib Abdullah Al-Haddad ra., bermukim di Mekkah, sehari setelah Al-Habib Abdullah Al-Haddad wafat, ia memberitahukan kepada sejumlah orang bahwa semalam beliau ra. sudah wafat. Ketika ditanya darimana ia mengetahuinya, ia menjawab, “Tiap hari, siang dan malam, saya melihat beliau selalu datang berthowaf mengitari Ka’bah (padahal beliau berada di Tarim, Hadhromaut). Hari ini saya tidak melihatnya lagi, karena itulah saya mengetahui bahwa beliau sudah wafat.”

Karya-karyanya

Beliau meninggalkan kepada umat Islam khazanah ilmu yang banyak, yang tidak ternilai, melalui kitab-kitab dan syair-syair karangan beliau. Antaranya ialah:

1. An-Nashaa’ih Ad-Dinniyah Wal-Washaya Al-Imaniyah.

2. Ad-Dakwah At Tammah.

3. Risalah Al-Mudzakarah Ma’al-Ikhwan Wal-Muhibbin.

4. Al Fushuul Al-Ilmiyah.

5. Al-Hikam.

6. Risalah Adab Sulukil-Murid.

7. Sabilul Iddikar.

8. Risalah Al-Mu’awanah.

9. Ittihafus-Sa’il Bi-Ajwibatil-Masa’il.

10. Ad-Durrul Manzhum Al-Jami’i Lil-Hikam Wal-Ulum.


Diposting oleh MU-MHU HADDAD
apa itu syiah - 2008/04/04 08:16 assalamualaikum Wr Wb
sebelumnya saya mohon maaf jika pertanyaan saya kurang sopan, tapi jujur didalam hati kecil saya hanya ingin menuntut ilmu. sebernarnya apa itu syiah
apakah syiah salah satu mazhab dalam islam, dan siapa sajakah imam 12 syiah dan apakah ada golongan para ahlul bait di indonesia sekarang ini, yang ber faham syiah. mudah mudahan habib mau menjawab segala keluh kesah saya, yang takut terjerumus dalam kesesatan.
wassalamualaikum Wr Wb

Re:apa itu syiah - 2008/04/04 12:25 Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Cahaya anugerah Nya semoga selalu menerangi hari hari anda dan keluarga,

Saudaraku yg kumuliakan,
pertanyaan anda telah pernah saya jawab, dan berikut saya copy paste kan :

mengenai pendapat kita ahlussunnah waljamaah bahwa 12 Imam yg diakui oleh syiah bukanlah merupakan kemungkaran, namun kita tak mengakui bahwa Imam Imam kita hanyalah 12 orang saja, para penerus risalah dan para Muhaddits dan Mujtahid banyak yg diakui sebagai imam dan tidak mesti dari ahlulbait,

dan kaum syiah mempunyai kelemahan dalam hal ini, karena mereka menobatkan 12 imam pilihan mereka hanya dari keturunan Ahlulbait, justru disana terdapat kelemahan yg nyata karena mereka hanya mengambil Imam Imam tsb dari keturunan Husein bin Ali kw, jika mereka menganggap 12 imam itu hanya dari Ahlulbait maka mengapa tak satupun mengambil dari keturunan Hasan bin Ali kw?,

karena Ahlulbait Rasul saw tentunya juga dari keturunan hasan bin Ali kw bahkan sayyidina hasan lebih dekat pada Rasul saw sebagai mansabah karena ia adalah kakak dari Sayyidina Husein ra.

maka kita melihat bahwa syiah sebenarnya hanya membesarkan keturunan ratu persia mereka, bukan ahlulbait Rasul saw, karena putri persia dinikahi oleh husein bin Ali kw, maka mereka memilih keturunan ratu persia dari Sayyidina Husein ra sebagai 12 imam.

kedudukan hadits itu dhoif dan tidak bisa dijadikan dalil, dan Imam Mahdi itu munculnya adalah setelah turunnya Isa bin Maryam as, bukan telah lahir masa lalu, kemudian bersembunyi di goa lalu orang syiah memanggil manggilnya dari lobang goa, ini adalah hal yg dungu.

dan imam imam kita bukan hanya 12, tapi keturunan Imam Hasan pun banyak yg menjadi Imam, yaitu Al Imam Abdulqadir Jailaniy, dan banyak lagi.

dan yg dimaksud dalam hadits itu bukanlah imam panutan hanya 12 saja, karena Rasul saw tidak mengatakan bahwa Imam yg harus dipanut adalah hanya 12 saja.

namun hal yg aneh adalah orang syiah mengakui Imam 12 ini namun tak mencontoh akhlak mereka, karena tak satupun mereka itu pencaci, tak satupun dari Imam Imam Ahlulbait itu yg mengkafirkan orang muslim, atau melaknat orang muslim

Imam Ali Zainal Abidin melakukan shalat malam 1.000 rakaat setiap malamnya hingga digelari Assajjad (orang yg banyak bersujud), bibirnya suci dari melaknat orang lain, mereka adalah orang yg bermunajat dimalam hari,

Imam Thawus ra disuatu malam mendengar munajat Imam Ali zainal Abidin ra, ia berdoa dg suara Lirih dan tangis.. : "Abduka bifinaa'ik.., miskiinuka bifinaa'ik..., saa'iluka bifinaa'ik.., faqiiruka bifinaa'ik.." (hamba Mu diteras Istana Mu.., si miskin di teras istana Mu.., si faqir di teras istana Mu.., si pengemis diteras istana Mu...)

Imam Thawus tak tahan mendengar doa itu, iapun pergi, dan berkata : tidaklah aku ditimpa kesulitan dan aku berdoa dg doa itu kecuali Allah mengangkat kesusahanku.

Imam Jakfar Shadiq ra meriwayatkan bahwa ia mendengar ayahnya (Muhammad Albaqir ra) bermunajat disuatu malam : "Amartaniy fala a'tamir.., wanahaytaniy falaa anzajir.., Haa ana abdun bayna yadayka muqirrun bindzanbiy, falaa a'tadzir..."
(Engkau memerintahku namun aku tak mampu melaksanakan kesemuanya, Engkau melarangku dan aku tak mampu menghindari kesemuanya.., inilah aku hamba dihadapan Mu, mengaku dengan dosa dan kesalahan dan aku tak mampu berkilah.."

inilah akhlak ahlulbait, inilah Imam Imam ahlulbayt, inilah doa dan kesucian jiwa mereka, demi Allah mereka bukan pencaci, dan tak pernah mengajarkan caci maki..

jelaslah sudah yg saya maksud bahwa orang syiah hanya mengagungkan keturunan ratu persia, bukan keturunan Imam Husein, karena jika mereka memuliakan keturunan Imam Husein maka mereka akan mengikuti akhlak mereka, mereka ini pengkhianat ahlulbait, karena mengaku pengikut ahlulbait namun bertentangan dengan ajaran ahlulbait.

kami ahlussunnah waljamaah mengikuti dan memuliakan Imam Imam, dari keturunan Imam Husein, dari keturunan Imam Hasan, dan Imam Imam selain ahlulbait yg berjalan bergandengan dg Ahlulbait, karena memang demikianlah agama yg benar. kami mencintai ahlulbait Nabi saw dan melestarikan ajarannya, beda dengan orang syiah yg mengaku cinta pada ahlulbait tapi merusak ajaran ahlulbait.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

Wallahu a'lam
(jawaban habib Munzir Al Musawa)

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
Ass.Wr.Wb Habib, smg habib sll diberi kesehatan & kerendahan hati yg luas oleh ALLAH SWT agar kami dpt terus bertanya kpd habib.
Apa hukumnya dlm Islam mengenai asuransi dg sistem bagi hasil yg kerjasama dg bank Syariah? Mohon penjelasan dr habib yg lugas & jelas, apakah ada dalilnya?
Terima Kasih sebelumnya. Wassalam.

alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

cinta dan rindu yg berpadu pada Dzat Allah swt semoga selalu berpijar pada anda dengan cahaya kebahagiaan

saudaraku yg kumuliakan,
asuransi adalah hal yg tak dibenarkan dalam syariah, karena ia menguntungkan sefihak, dan merugikan orang lain, orang yg membayar belum tentu mendapat dan orang yg mungkin belum banyak membayar sudah mendapat dana besar, hal ini tak dibenarkan dalam syariah,

namun jika dimaksudkan untuk berinfak secara ikhlas bagi mereka saudara saudara muslimin yg terkena musibah, maka hal ini diperbolehkan dalam syariah, namun dengan I'tikad yg jelas, yaitu demi membantu sesama, maka dana pembayarannya berupa sedekah atau Infak, dan hal ini mesti jelas pada perjanjiannya.

jika demikian yg berlaku pada asuransi bank syariah, maka hal itu dibenarkan

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

Wallahu a'lam
(jawaban habib Munzir Al Musawa)

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
hukumnya asuransi jiwa - 2008/03/01 21:21 Ass.wr.wb Habib,saya mau tanya hukumnya asuransi jiwa menurut hukum islam.terima kasih.semoga habib beserta keluarga selalu dalam lindungan- NYA. wassalamua'laikum wr.wb.


Re:hukumnya asuransi jiwa - 2008/03/02 02:41 Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

semoga kemuliaan ramadhan, keagungan shiyaam, kesucian Qiyaam, keberkahan Alqur;an, dan cahaya Lailatul Qadr selalu terlimpah dan menghiasi hari hari anda dan keluarga.

Saudaraku yg kumuliakan,
ada perbedaan pendapat mengenai Asuransi, namun asuransi syariah adalah halal karena mengumpulkan uang dg dasar tolong menolong.

namun asuransi yg umum, sebagian ulama menjelaskan bahwa hal itu merupakan hal yg diharamkan, sebagaimana Hadits Rasul saw yg diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa'i dan Ibn Maajah, bahwa Rasul saw melarang perdagangan yg tidak pasti keuntungannya, (Fiqh Islami wa adillatuhu Li wahbah Azzuhaili Juz 5 hal 3415-3429)

sebagaimana asuransi, yg membayar tak dapat dipastikan akan mendapatkannya, dan yg belum memenuhi target dalam pembayaran bisa saja mendapat keuntungan yg berlimpah.

namun ada pendapat bahwa mereka yg membayar asuransi yg berniat turut membantu saudaranya yg terkena musibah maka halal, namun tentunya sebagian besar pembayar asuransi adalah bukan untuk menyelamatkan / membantu saudaranya, namun untuk mendapatkan uang saat musibah, walaupun uangnya belum seberapa, ia akan menuntut hak asuransinya.

dan hal itu sangat merugikan sebagian lainnya yg tak terkena musibah, demikian sebab pelarangannya,

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dalam semua cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

Wallahu a’lam
(jawaban habib Munzir Al Musawa)

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
Manaqip Al-Imam Muhammad Bin Ali Al-Fagih Al-Muqaddam

Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali Thalib, Ibnu Al-Batul Fathimah binti Rasulullah SAW, dikenal dengan Al-Ustadz Al-A’Zham Al-Faqih Al-Muqaddam.

Beliau adalah bapak dari semua keluarga Alawiyyin, keindahan kaum Muslimin dan agama Islam, batinnya selalu dalam kejernihan yang ma’qul dan penghimpun kebenaran yang manqul, mustanbituhl furu’ minal ushul, perumus cabang-cabang hukum Syara’, yang digali dari pokok-pokok ilmu fiqh, Syaikh syuyukhis syari’ah ( maha guru ilmu syari’ah), imamul ahlil hakikat (pemimpin para ahli hakikat), sayidul thoifah ashashufiyah (penguhulu kaum sufi), murakidz dairatul wilayah ar-rabbaniyah, Qudwatul ulama al-Muhaqqiqin (panutan para ulama ahli ilmu hakikat), tajul a’imah al-arifin (mahkota para imam ahli ma’rifat), jamiul kamalat (yang terhimpun padanya semua kesempurnaan)

Imam Muhammad bin Ali adalah penutup para wali yang mewarisi maqom Rasulullah SAW, yaitu maqom qutbiyah Al-Kubro (wali quthub besar). Beliau lahir tahun 574 hijriyah di kota Tarim, hafal Al-Qur’an, menguasai makna yang tersurat maupun yang tersirat dari Al-Qur’an.

Imam Muhammad bin Ali belajar Fiqh Syafii kepada Syaikh Abdullah bin Abdurahman Ba’abid dan Syaikh Ahmad bin Muhammad Ba’Isa, belajar Ilmu Ushul dan Ilmu Logika kepada Imam Ali bin Ahmad Bamarwan dan Imam Muhammad bin Ahmad bin Abilhib, belajar ilmu tafsir dan hadits kepada seorang mujtahid bernama Sayyid Ali bin Muhammad Bajadid, belajar ilmu Tasawuf dan Hakikat kepada Imam Salim bin Basri, Syaikh Muhammad bin Ali Al-Khatib dan pamannya Syaikh Alwi bin Muhammad Shahib Marbath serta Syaikh Sufyan Al-Yamani yang berkunjung ke Hadramaut dan tinggal di kota Tarim.

Para Ulama Hadramaut mengakui bahwa Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali adalah seorang mujtahid mutlaq. Di antara keramatnya adalah : ketika anak beliau Ahmad mengikuti Al-Faqih Al-Muqaddam ke suatu wadi di pertengahan malam, maka sesampainya di wadi tersebut beliau berdzikir dengan mengeluarkan suara, maka batu dan pohon serta mahluk yang ada di sekeliling tempat itu semuanya ikut berdzikir. Beliau dapat melihat negeri akhirat dan segala kenikmatannya hanya dengan melihat di antara kedua tangannya, dan melihat dunia dengan segala tipu dayanya melalui kedua matanya.

Di antara sikap tawadhu’nya, ia tidak mengarang kitab yang besar akan tetapi ia hanya mengarang dua buah kitab yang berisi uraian yang berisi uraian yang ringkas. Kitab tersebut berjudul : Bada’ia Ulum Al-Mukasysyafah dan ghoroib Al-Musyahadat Wal Al-Tajalliyat. Kedua kita tersebut dikirimkan kepada salah seorang gurunya Syaikh Sa’adudin bin Ali Al-Zhufari yang wafat di Sihir tahun 607 Hijriyah. Setelah melihat dan membacanya ia merasa takjub atas pemikiran dan kefasihan kalam Imam Muhammad bin Ali. Kemudian surat tersebut dibalas dengan menyebutkan di Akhir tulisan suratnya : “ Engkau wahai Imam, adalah pemberi petunjuk bagi yang membutuhkan “. Imam Muhammad bin Ali pernah ditanya tentang 300 macam masalah dari berbagai macam ilmu, maka beliau menjawab semua masalah tersebut dengan sebaik-baiknya jawaban dan terurai.

Rumah beliau merupakan tempat berlindung bagi para anak yatim, kaum fakir dan para janda. Jika rumah beliau kedatangan tamu, maka ia menyambut dan menyediakan makanan yang banyak, dimana makanan tersebut tersedia hanya dengan mengangkat tangan beliau dan para tamu untuk berdo’a dan meminta kepada Allah SWT.

Imam Muhammad bin Ali Al-Faqih Al-Muqaddam berdoa untuk para keturunannya agar selalu menempuh perjalanan yang baik, jiwanya tidak dikuasai oleh kezaliman yang akan menghinakannya serta tidak ada satupun dari anak cucunya yang meninggal kecuali dalam keadaan mastur (kewalian yang tersembunyi).

Beliau seorang yang gemar bersedekah, setiap hari beliau memberi sedekah sebanyak dua ribu ratl kurma kepada yang membutuhkannya, memberdayakan tanah pertaniannya untuk kemaslahatan umum. Beliau juga menjadikan istrinya Zainab Ummul Fuqoro sebagai khalifah beliau. Imam Muhammad bin Ali Wafat tahun 653 hijriyah dan dimakamkan di Zanbal, Tarim pada malam Jum’at akhir bulan Dzulhijjah.

Diposting oleh MU-MHU HADDAD

Manaqip Al-Imam Ahmad Almuhajir

Al-Imam Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW

Beliau adalah Al-Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-'Uraidhi bin Ja'far Ash-Shodiq, dan terus bersambung nasabnya hingga Rasulullah SAW. Beliau adalah seorang yang tinggi di dalam keutamaan, kebaikan, kemuliaan, akhlak dan budi pekertinya. Beliau juga seorang yang sangat dermawan dan pemurah.

Beliau berasal dari negara Irak, tepatnya di kota Basrah. Ketika beliau mencapai kesempurnaan di dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, bersinarlah mata batinnya dan memancarlah cahaya kewaliannya, sehingga tersingkaplah padanya hakekat kehidupan dunia dan akherat, mana hal-hal yang bersifat baik dan buruk.

Beliau di Irak adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan kehidupan yang makmur. Akan tetapi ketika beliau mulai melihat tanda-tanda menyebarnya racun hawa nafsu disana, beliau lebih mementingkan keselamatan agamanya dan kelezatan untuk tetap beribadah menghadap Allah SWT. Beliau mulai menjauhi itu semua dan membulatkan tekadnya untuk berhijrah, dengan niat mengikuti perintah Allah, "Bersegeralah kalian lari kepada Allah..."

Adapun sebab-sebab kenapa beliau memutuskan untuk berhijrah dan menyelamatkan agamanya dan keluarganya, dikarenakan tersebarnya para ahlul bid'ah dan munculnya gangguan kepada para Alawiyyin, serta begitu sengitnya intimidasi yang datang kepada mereka. Pada saat itu muncul sekumpulan manusia-manusia bengis yang suka membunuh dan menganiaya. Mereka menguasai kota Basrah dan daerah-daerah sekitarnya. Mereka membunuh dengan sadis para kaum muslimin. Mereka juga mencela kaum perempuan muslimin dan menghargainya dengan harga 2 dirham. Mereka pernah membunuh sekitar 300.000 jiwa dalam waktu satu hari. Ash-Shuly menceritakan tentang hal ini bahwa jumlah total kaum muslimin yang terbunuh pada saat itu adalah sebanyak 1.500.000 jiwa.

Pemimpin besar mereka adalah seorang yang pandir dengan mengaku bahwa dirinya adalah Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin, padahal nasab itu tidak ada. Ia suka mencaci Ustman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah. Ini termasuk salah satu golongan dalam Khawarij.

Karena sebab-sebab itu, Al-Imam Ahmad memutuskan untuk berhijrah. Kemudian pada tahun 317 H, berhijrahlah beliau bersama keluarga dan kerabatnya dari Basrah menuju ke Madinah. Termasuk di dalam rombongan tersebut adalah putra beliau yang bernama Ubaidillah dan anak-anaknya, yaitu Alwi (kakek keluarga Ba'alawy), Bashri (kakek keluarga Bashri), dan Jadid (kakek keluarga Jadid). Mereka semua adalah orang-orang sunni, ulama yang mengamalkan ilmunya, orang-orang sufi dan sholeh. Termasuk juga yang ikut dalam rombongan beliau adalah para budak dan pembantu beliau, serta termasuk didalamnya adalah kakek dari keluarga Al-Ahdal. Dan juga ikut diantaranya adalah kakek keluarga Bani Qadim (Bani Ahdal dan Qadim adalah termasuk keturunan dari paman-paman beliau).

Pada tahun ke-2 hijrahnya beliau, beliau menunaikan ibadah haji beserta orang-orang yang ikut hijrah bersamanya. Kemudian setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan hijrahnya menuju ke Hadramaut. Masuklah beliau ke daerah Hajrain dan menetap disana untuk beberapa lama. Setelah itu beliau melanjutkan ke desa Jusyair. Tak lama disana, beliau lalu melanjutkan kembali perjalanannya dan akhirnya sampailah di daerah Husaisah (nama desa yang berlembah dekat Tarim). Akhirnya beliau memutuskan untuk menetap disana.

Semenjak beliau menetap disana, mulai terkenallah daerah tersebut. Disana beliau mulai menyebarkan-luaskan As-Sunnah. Banyak orang disana yang insyaf dan kembali kepada As-Sunnah berkat beliau. Beliau berhasil menyelamatkan keturunannya dari fitnah jaman.

Masuknya beliau ke Hadramaut dan menetap disana banyak mendatangkan jasa besar. Sehingga berkata seorang ulama besar, Al-Imam Fadhl bin Abdullah bin Fadhl, "Keluar dari mulutku ungkapan segala puji kepada Allah. Barangsiapa yang tidak menaruh rasa husnudz dzon kepada keluarga Ba'alawy, maka tidak ada kebaikan padanya." Hadramaut menjadi mulia berkat keberadaan beliau dan keturunannya disana. Sulthanah binti Ali Az-Zabiidy (semoga Allah merahmatinya) telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dimana di mimpi tersebut Rasulullah SAW masuk ke dalam kediaman salah seorang Saadah Ba'alawy, sambil berkata, "Ini rumah orang-orang tercinta. Ini rumah orang-orang tercinta."

Radhiyallohu anhu wa ardhah...

Diposting oleh MU-MHU HADDAD

Al Imam Ali Al-Uraidhi

Beliau adalah Al-Imam Ali bin Ja'far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau terkenal dengan julukan Al-'Uraidhi, karena beliau tinggal di suatu daerah yang bernama 'Uraidh (sekitar 4 mil dari kota Madinah). Beliau juga dipanggil dengan Abu Hasan.

Beliau dilahirkan di kota Madinah dan dibesarkan disana. Kemudian beliau memilih untuk tinggal di daerah 'Uraidh. Beliau adalah seorang tekun dalam beribadah, dermawan dan seorang ulama besar. Beliau, diantara saudara-saudaranya, adalah anak yang paling bungsu, yang paling panjang umurnya dan paling menonjol keutamaan. Ayah beliau (yaitu Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq) meninggal ketika beliau masih kecil.

Beliau mengambil ilmu dari ayah dan teman ayahnya. Beliau juga mengambil ilmu dari saudaranya, yaitu Musa Al-Kadzim. Beliau juga mengambil ilmu dari Hasan bin Zeid bin Ali Zainal Abidin. Banyak orang yang meriwayatkan hadits melalui jalur beliau, diantaranya 2 putranya (yaitu Ahmad dan Muhammad), cucunya (yaitu Abdullah bin Hasan bin Ali Al-'Uraidhi), putra keponakannya (yaitu Ismail bin Muhammad bin Ishaq bin Ja'far Ash-Shodiq1), dan juga Al-Imam Al-Buzzi.

Berkata Al-Imam Adz-Dzahabi di dalam kitabnya Al-Miizaan, "Ali bin Ja'far Ash-Shodiq meriwayatkan hadits dari ayahnya, juga dari saudaranya (yaitu Musa Al-Kadzim), dan juga dari Ats-Tsauri. Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau di antaranya Al-Jahdhami, Al-Buzzi, Al-Ausi, dan ada beberapa lagi. At-Turmudzi juga meriwayatkan hadits dari beliau di dalam kitabnya." Adz-Dzahabi juga berkata di dalam kitabnya Al-Kaasyif, "Ali bin Ja'far bin Muhammad meriwayatkan hadits dari ayahnya, dan juga dari saudaranya (yaitu Musa Al-Kadzim). Adapun yang meriwayatkan hadits dari beliau adalah dua putranya (yaitu Muhammad dan Ahmad) dan juga ada beberapa orang. Beliau meninggal pada tahun 112 H..." Adz-Dzahabi juga meriwayatkan suatu hadits dengan mengambil sanad dari beliau, dari ayahnya terus sampai kepada Al-Imam Ali bin Abi Thalib, "Sesungguhnya Nabi SAW memegang tangan Hasan dan Husain, sambil berkata, 'Barangsiapa yang mencintaiku dan mencintai kedua orang ini dan ayah dari keduanya, maka ia akan bersamaku di dalam kedudukanku (surga) ada hari kiamat.' " Asy-Syeikh Ibnu Hajar juga berkata di dalam kitabnya At-Taqrib, "Ali bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain adalah salah seorang tokoh besar pada abad ke-10 H..." Al-Imam Al-Yaafi'i memujinya di dalam kitab Tarikh-nya. Demikian juga Al-Imam Al-Qadhi menyebutkannya di dalam kitabnya Asy-Syifa', dan juga mensanadkan hadits dari beliau, serta meriwayatkan hadits yang panjang tentang sifat-sifat Nabi SAW. Al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya juga meriwayatkan hadits dari jalur beliau. Demikian juga beberapa orang menyebutkan nama beliau, di antaranya As-Sayyid Ibnu 'Unbah, Al-'Amri, dan As-Sayyid As-Samhudi.

Beliau, Al-Imam Ali Al-'Uraidhi, lebih mengutamakan menghindari ketenaran dan takut dari hal-hal yang dapat menyebabkan dikenal. Beliau dikaruniai umur panjang, sampai dapat menjumpai cucu dari cucunya. Beliau meninggal pada tahun 112H di kota 'Uraidh dan disemayamkan di kota tersebut. Makam beliau sempat tak diketahui, lalu As-Sayyid Zain bin Abdullah Bahasan menampakkannya, sehingga terkenal hingga sekarang. Beliau meninggalkan beberapa putra, yang hidup diantaranya 4 orang, yaitu Ahmad Asy-Sya'rani, Hasan, Ja'far Al-Asghar dan Muhammad (datuk Bani Alawy).

Radhiyallohu anhu wa ardhah...

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
Al-Imam Ja`far Ash-Shodiq

Beliau adalah Al-Imam Ja'far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau terkenal dengan julukan Ash-Shodiq (orang yang jujur). Beliau biasa dipanggil dengan panggilan Abu Abdullah dan juga dengan panggilan Abu Ismail. Ibu beliau adalah Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq. Sedangkan ibu dari Farwah adalah Asma bintu Abdurrahman bin Abubakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, beliau (Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq) pernah berkata, "Abubakar (Ash-Shiddiq) telah melahirkanku dua kali." Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq dilahirkan di kota Madinah pada hari Senin, malam ke 13 dari Rabi'ul Awal, tahun 80 H (ada yang menyebutkan tahun 83 H). Banyak para imam besar (semoga Allah meridhoi mereka) yang mengambil ilmu dari beliau, diantaranya Yahya bin Sa'id, Ibnu Juraid, Imam Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Abu Hanifah, Su'bah dan Ayyub. Banyak ilmu dan pengetahuan yang diturunkan dari beliau, sehingga nama beliau tersohor luas seantero negeri. Umar bin Miqdam berkata, "Jika aku melihat kepada Ja'far bin Muhammad, aku yakin bahwa beliau adalah keturunan nabi." Sebagian dari mutiara kalam beliau (Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq) adalah: "Tiada bekal yang lebih utama daripada takwa. Tiada sesuatu yang lebih baik daripada diam. Tiada musuh yang lebih berbahaya daripada kebodohan. Tiada penyakit yang lebih parah daripada berbohong." "Jika engkau mendengar suatu kalimat dari seorang muslim, maka bawalah kalimat itu pada sebaik-baiknya tempat yang engkau temui. Jika engkau tak mampu untuk mendapatkan wadah tempat kalimat tersebut, maka celalah dirimu sendiri." "Jika engkau berbuat dosa, maka memohon ampunlah, karena sesungguhnya dosa-dosa itu telah dibebankan di leher-leher manusia sebelum ia diciptakan. Dan sesungguhnya kebinasaan yang dahsyat itu adalah terletak pada melakukan dosa secara terus-menerus."

"Barangsiapa yang rizkinya lambat, maka perbanyaklah istighfar. Barangsiapa yang dibuat kagum oleh sesuatu dan menginginkannya demikian terus, maka perbanyaklah ucapan maa syaa-allah laa quwwata illa billah." "Allah telah memerintahkan kepada dunia, 'Berkhidmatlah kepada orang yang berkhidmat kepadaku, dan buatlah payah orang yang berkhidmat kepadamu.' " "Fugaha itu orang yang memegang amanah para rasul, selama tidak masuk ke dalam pintu-pintu penguasa." "Jika engkau menjumpai sesuatu yang tidak engkau sukai dari perbuatan saudaramu, maka carilah satu, atau bahkan sampai tujuh puluh alasan, untuk membenarkan perbuatan saudaramu itu. Jika engkau masih belum mendapatkannya, maka katakanlah, 'Semoga ia mempunyai alasan tertentu (kenapa berbuat demikian) yang aku tidak mengetahuinya.' " "Empat hal yang tidak seharusnya bagi seorang yang mulia untuk memandang rendah: bangunnya dia dari tempat duduknya untuk menemui ayahnya, berkhidmatnya dia kepada tamunya, bangunnya dia dari atas binatang tunggangannya, dan berkhidmatnya dia kepada seorang yang menuntut ilmu kepadanya." "Tidaklah kebaikan itu sempurna kecuali dengan tiga hal : menganggapnya rendah (tidak berarti apa-apa), menutupinya dan mempercepatnya. Sesungguhnya jika engkau merendahkannya, ia akan menjadi agung. Jika engkau menutupinya, engkau telah menyempurnakannya. Jika engkau mempercepatnya, engkau akan dibahagiakannya."

Dari sebagian wasiat-wasiat beliau kepada putranya, Musa: "Wahai putraku, barangsiapa yang menerima dengan ikhlas apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka ia akan merasa berkecukupan. Barangsiapa yang membentangkan matanya untuk melihat apa-apa yang ada di tangannya selainnya, maka ia akan mati miskin. Barangsiapa yang tidak rela dengan apa-apa yang telah dibagikan oleh Allah daripada rizki, maka berarti ia telah menuduh Allah di dalam qadha'-Nya." "Barangsiapa yang memandang rendah kesalahannya sendiri, maka ia akan membesar-besarkan kesalahan orang lain. Barangsiapa yang memandang kecil kesalahan orang lain, maka ia akan memandang besar kesalahannya sendiri." "Wahai anakku, barangsiapa yang membuka kesalahan orang lain, maka akan dibukakanlah kesalahan-kesalahan keturunannya. Barangsiapa yang menghunuskan pedang kezaliman, maka ia akan terbunuh dengannya. Barangsiapa yang menggali sumur agar saudaranya masuk ke dalamnya, maka ia sendirilah yang nanti akan jatuh ke dalamnya." "Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat orang-orang bodoh, maka ia akan dipandang rendah. Barangsiapa yang bergaul dengan ulama, ia akan dipandang mulia. Barangsiapa yang masuk ke dalam tempat-tempat kejelekan, maka ia akan dituduh melakukan kejelekan itu." "Wahai putraku, janganlah engkau masuk di dalam sesuatu yang tidak membawa manfaat apa-apa kepadamu, supaya engkau tidak menjadi hina." "Wahai putraku, katakanlah yang benar, walaupun berdampak baik kepadamu ataupun berdampak buruk." "Wahai putraku, jadikan dirimu memerintahkan kebaikan, melarang kemungkaran, menyambung tali silaturrahmi kepada seorang yang memutuskan hubungan denganmu, menyapa kepada seorang yang bersikap diam kepadamu, dan memberi kepada seorang yang meminta darimu. Jauhilah daripada perbuatan mengadu domba, karena hal itu akan menanamkan kedengkian di hati manusia. Jauhilah daripada perbuatan membuka aib-aib manusia." "Wahai putraku, jika engkau berkunjung, maka kunjungilah orang-orang yang baik, dan janganlah mengunjungi orang-orang pendusta." Beliau (Al-Imam Ja'far Ash-Shodiq) meninggal di kota Madinah pada malam Senin, pertengahan bulan Rajab, tahun 148 H dan disemayamkan di pekuburan Baqi' di dalam qubah Al-Abbas, dekat dengan makam ayahnya, kakeknya dan paman kakeknya Hasan bin Ali. Beliau meninggalkan lima orang putra, yaitu Muhammad, Ismail, Abdullah, Musa dan Ali Al-'Uraidhi (kakek daripada keluarga Ba'alawy).

Radhiyallohu anhu wa ardhah...

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
Al-Imam Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW

Beliau adalah Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau dijuluki dengan julukan Abal Hasan atau Abal Husain. Beliau juga dijuluki dengan As-Sajjad (orang yang ahli sujud).

Beliau adalah seorang yang ahli ibadah dan panutan penghambaan dan ketaatan kepada Allah. Beliau meninggalkan segala sesuatu kecuali Tuhannya dan berpaling dari yang selain-Nya, serta yang selalu menghadap-Nya. Hati dan anggota tubuhnya diliputi ketenangan karena ketinggian makrifahnya kepada Allah, rasa hormatnya dan rasa takutnya kepada-Nya. Itulah sifat-sifat beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin.

Beliau dilahirkan di kota Madinah pada tahun 33 H, atau dalam riwayat lain ada yang mengatakan 38 H. Beliau adalah termasuk generasi tabi'in. Beliau juga seorang imam agung. Beliau banyak meriwayatkan hadits dari ayahnya (Al-Imam Husain), pamannya Al-Imam Hasan, Jabir, Ibnu Abbas, Al-Musawwir bin Makhromah, Abu Hurairah, Shofiyyah, Aisyah, Ummu Kultsum, serta para ummahatul mukminin/isteri-isteri Nabi SAW (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau, Al-Imam Ali Zainal Abidin, mewarisi sifat-sifat ayahnya (semoga Allah meridhoi keduanya) di didalam ilmu, zuhud dan ibadah, serta mengumpulkan keagungan sifatnya pada dirinya di dalam setiap sesuatu.

Berkata Yahya Al-Anshari, "Dia (Al-Imam Ali) adalah paling mulianya Bani Hasyim yang pernah saya lihat." Berkata Zuhri, "Saya tidak pernah menjumpai di kota Madinah orang yang lebih mulia dari beliau." Hammad berkata, "Beliau adalah paling mulianya Bani Hasyim yang saya jumpai terakhir di kota Madinah." Abubakar bin Abi Syaibah berkata, "Sanad yang paling dapat dipercaya adalah yang berasal dari Az-Zuhri dari Ali dari Al-Husain dari ayahnya dari Ali bin Abi Thalib."

Kelahiran beliau dan Az-Zuhri terjadi pada hari yang sama. Sebelum kelahirannya, Nabi SAW sudah menyebutkannya. Beliau shalat 1000 rakaat setiap hari dan malamnya. Beliau jika berwudhu, pucat wajahnya. Ketika ditanya kenapa demikian, beliau menjawab, "Tahukah engkau kepada siapa aku akan menghadap?." Beliau tidak suka seseorang membantunya untuk mengucurkan air ketika berwudhu. Beliau tidak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik dalam keadaan di rumah ataupun bepergian. Beliau memuji Abubakar, Umar dan Utsman (semoga Allah meridhoi mereka semua). Ketika berhaji dan terdengar kalimat, "Labbaikallah...," beliau pingsan.

Suatu saat ketika beliau baru saja keluar dari masjid, seorang laki-laki menemuinya dan mencacinya dengan sedemikian kerasnya. Spontan orang-orang di sekitarnya, baik budak-budak dan tuan-tuannya, bersegera ingin menghakimi orang tersebut, akan tetapi beliau mencegahnya. Beliau hanya berkata, "Tunggulah sebentar orang laki-laki ini." Sesudah itu beliau menghampirinya dan berkata kepadanya, "Apa yang engkau tidak ketahui dari diriku lebih banyak lagi. Apakah engkau butuh sesuatu sehingga saya dapat membantumu?." Orang laki-laki itu merasa malu. Beliau lalu memberinya 1000 dirham. Maka berkata laki-laki itu, "Saya bersaksi bahwa engkau adalah benar-benar cucu Rasulullah."

Beliau berkata, "Kami ini ahlul bait, jika sudah memberi, pantang untuk menginginkan balasannya." Beliau sempat hidup bersama kakeknya, Al-Imam Ali bin Abi Thalib, selama 2 tahun, bersama pamannya, Al-Imam Hasan, 10 tahun, dan bersama ayahnya, Al-Imam Husain, 11 tahun (semoga Allah meridhoi mereka semua).

Beliau setiap malamnya memangkul sendiri sekarung makanan diatas punggungnya dan menyedekahkan kepada para fakir miskin di kota Madinah. Beliau berkata, "Sesungguhnya sedekah yang sembunyi-sembunyi itu dapat memadamkan murka Tuhan." Muhammad bin Ishaq berkata, "Sebagian dari orang-orang Madinah, mereka hidup tanpa mengetahui dari mana asalnya penghidupan mereka. Pada saat Ali bin Al-Husain wafat, mereka tak lagi mendapatkan penghidupan itu."

Beliau jika meminjamkan uang, tak pernah meminta kembali uangnya. Beliau jika meminjamkan pakaian, tak pernah meminta kembali pakaiannya. Beliau jika sudah berjanji, tak mau makan dan minum, sampai beliau dapat memenuhi janjinya. Ketika beliau berhaji atau berperang mengendarai tunggangannya, beliau tak pernah memukul tunggangannya itu. Manaqib dan keutamaan-keutamaan beliau tak dapat dihitung, selalu dikenal dan dikenang, hanya saja kami meringkasnya disini.

Beliau meninggal di kota Madinah pada tanggal 18 Muharrom 94 H, dan disemayamkan di pekuburan Baqi', dekat makam dari pamannya, Al-Imam Hasan, yang disemayamkan di qubah Al-Abbas. Beliau wafat dengan meninggalkan 11 orang putra dan 4 orang putri. Adapun warisan yang ditinggalkannya kepada mereka adalah ilmu, kezuhudan dan ibadah. (sumber : Almuhajir.net)

Radhiyallohu anhu wa ardhah...

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
assalamualaikum bib...ana bener bener bingung neh...tapi rada kesel juga.
langsung aja bib ana mo tanya pendapat antum tentang hukum hukum RIBA.
karena dewasa ini umat islam sudah tidak peduli lagi akan Bahaya2 RIBA yg siap menerjang sendi sendi kehidupan mereka.
apakah di kalangan alawiyin riba itu juga sudah di lumrahkan karena tuntutran zaman?
apakah karena zaman ...umat islam harus menyerah dan tidak berfikir dan berusdaha untuk menghindari riba?
alafu bib sebelumnya
sukron


Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Limpahan kebahagiaan dan kesejukan hati semoga selalu menerangi hari hari anda,

Saudaraku yg kumuliakan,
seluruh madzhab telah berpadu dalam satu fatwa bahwa riba tetap haram sampai kapanpun, namun telah menjadi hal yg lumrah bahwa Riba, zina, arak, dan banyak lagi dosa dosa besar sudah menjadi umum untuk dilakukan dan bahkan sudah mulai bukan merupakan aib.

namun sehebat apapun kerusakan ummat, riba tetap haram, dan yg haram tetap haram tanpa bisa dirubah menjadi halal.

semampunya kita menghindari dan berusaha pula menghindarkan muslimin darinya, dan kita tak dituntut lebih dari kemampuan kita.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,

Wallahu a'lam
(jawaban dari AlHabib Munzir Al Musawa)

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
Manaqip Ahlul Bait S.A.W

Al-Imam Muhammad Al-Bagir

Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Digelari Al-Baqir (yang membelah bumi) karena kapasitas keilmuan beliau yang begitu mendalam sehingga diibaratkan dapat membelah bumi dan mengeluarkan isinya yang berupa pengetahuan-pengetahuan. Nama panggilan beliau adalah Abu Ja'far.

Al-Imam Ibnu Al-Madiny meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah (semoga Allah meridhoi mereka berdua) bahwasannya Jabir berkata kepada Imam Muhammad Al-Baqir yang pada waktu itu masih kecil, "Rasulullah SAW mengirimkan salam untukmu." Beliau bertanya, "Bagaimana hal itu bisa terjadi?." Jabir menjawab, "Pada suatu hari saya sedang duduk bersama Rasulullah SAW, sedangkan Al-Husain (cucu beliau) lagi bermain-main di pangkuan beliau. Kemudian Rasulullah SAW berkata, 'Pada suatu saat nanti, dia (yaitu Al-Husain) akan mempunyai seorang putra yang bernama Ali (Zainal Abidin). Jika hari kiamat datang, akan terdengar seruan, 'Berdirilah wahai pemuka para ahli ibadah.' Maka kemudian putranya (yaitu Ali-Zainal Abidin) itu akan bangun. Kemudian dia (yaitu Ali Zainal Abidin) akan mempunyai seorang putra yang bernama Muhammad. Jika engkau sempat menjumpainya, wahai Jabir, maka sampaikan salam dariku.' "

Beliau, Muhammad Al-Baqir, adalah keturunan Rasul SAW dari jalur ayah dan ibu. Beliau adalah seorang yang berilmu luas. Namanya menyebar seantero negeri. Ibu beliau adalah Ummu Abdullah, yaitu Fatimah bintu Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib (semoga Allah meridhoi mereka semua). Beliau dilahirkan di kota Madinah pada hari Jum'at, 12 Safar 57 H, atau 3 tahun sebelum gugurnya ayahnya, Al-Imam Al-Husain.

Dari sebagian kalam mutiara beliau adalah, "Tidaklah hati seseorang dimasuki unsur sifat sombong, kecuali akalnya akan berkurang sebanyak unsur kesombongan yang masuk atau bahkan lebih." "Sesungguhnya petir itu dapat menyambar seorang mukmin atau bukan, akan tetapi tak akan menyambar seorang yang berdzikir." "Tidak ada ibadah yang lebih utama daripada menjaga perut dan kemaluan." "Seburuk-buruknya seorang teman itu adalah seseorang yang hanya menemanimu ketika kamu kaya dan meninggalkanmu ketika kamu miskin." "Kenalkanlah rasa kasih-sayang di dalam hati saudaramu dengan cara engkau memperkenalkannya dulu di dalam hatimu." Beliau jika tertawa, beliau berkata, "Ya Allah, janganlah Engkau timpakan murka-Mu kepadaku." Beliau adalah seorang yang mencintai dua orang yang agung, yaitu Abubakar dan Umar (semoga Allah meridhoi mereka berdua). Diantara kalam mutiara beliau yang lain, saat beliau berkata kepada putranya, "Wahai putraku, hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya adalah kunci setiap keburukan. Sesungguhnya engkau jika malas, maka engkau akan banyak tidak melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, maka engkau tak akan tahan dalam menunaikan kewajiban." Di antara kalam mutiara beliau yang lain, "Jika engkau menginginkan suatu kenikmatan itu terus padamu, maka perbanyaklah mensyukurinya. Jika engkau merasa rezeki itu datangnya lambat, maka perbanyaklah istighfar. Jika engkau ditimpa kesedihan, maka perbanyaklah ucapan 'Laa haula wa laa quwwata illaa billah'. Jika engkau takut pada suatu kaum, ucapkanlah, 'Hasbunallah wa ni'mal wakiil'. Jika engkau kagum terhadap sesuatu, ucapkanlah, 'Maa syaa'allah, laa quwwata illaa billah'. Jika engkau dikhianati, ucapkanlah, 'Wa ufawwidhu amrii ilaallah, innaallaha bashiirun bil 'ibaad'. Jika engkau ditimpa kesumpekan, ucapkanlah, 'Laa ilaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minadz dzolimiin.' "

Beliau wafat di kota Madinah pada tahun 117 H (dalam riwayat lain 114 H atau 118 H) dan disemayamkan di pekuburan Baqi', tepatnya di qubah Al-Abbas disamping ayahnya. Beliau berwasiat untuk dikafani dengan qamisnya yang biasa dipakainya shalat. Beliau meninggalkan beberapa orang anak, yaitu Ja'far, Abdullah, Ibrahim, Ali, Zainab dan Ummu Kultsum. Putra beliau yang bernama Ja'far dan Abdullah dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Farwah bintu Qasim bin Muhammad bin Abubakar Ash-Shiddiq.

Radhiyallohu anhu wa ardhah...

Diposting oleh MU-MHU HADDAD

RĀTIB AL-HADDĀD

Of: SAYYIDUNĀ AL-IMĀM QUTB U’L IRSHĀD

AL-HABĪB ‘ABDULLĀH BIN ‘ALAWĪ AL-HADDĀD

Rady Allāhu ‘Anhu (1044-1132 H)

Translation and Transliteration

“The Opening” Al-Fātiha

In the Name of Allāh, the Beneficent, the Merciful.
All praise be to Allāh, Lord of the worlds.
The Beneficent, the Merciful.
Owner of the Day of Judgment.
You only do we worship,
and You only do we beg for help.
Guide us on the straight path.
The path of those whom You have favoured;
not (the path) of those who earn Your anger
nor of those who go astray. (1:1-7)

Bismillāh i’r Rahmān i’r Rahīm
Alhamdu Lillāhi Rabb i’l-‘ālamīn
Ar-Rahmān i’r Rahīm
Māliki Yawm i’d Dīn
Iyyāka na‘budu
wa Iyyāka nasta‘īn
Ihdina’s Sirāt al-mustaqīm
Sirāt al-ladhīna an‘amta ‘alayhim
ghayri’l maghdūbi ‘alayhim
wa la’d-dāllīn
Āmīn


(Recite once)

Allāh! None is worthy of worship but He,
The Ever-Living,
The Self-Subsisting by Whom all subsist;
Slumber overtakes Him not, nor sleep;
to Him belongs whatever is in the heavens
and whatever is in the earth;
who is he that can intercede with Him
except by His permission?
He knows what is before them
and what is behind them,
and they encompass nothing
of His knowledge, except what He wills;
His Seat extends over the heavens and the earth,
and He is never weary of preserving them both;
and He is the Most High, the Supreme. (2:255)

Allāhu lā ilāha illā Huwa’l
Hayyu’l
Qayyūm
lā ta’khudhuhu sinatun wa lā nawm
Lahū mā fi’s-samāwāti
wa mā fi’l ard
man dhalladhī yashfa‘u ‘indahu
illā bi-Idhnih
Ya‘lamu mā bayna aydīhim
wa mā khalfahum
wa lā yuhītūna bi-shay’in
min ‘ilmihi illā bimā shā’
wasi‘a Kursiyyuhu’s samāwāti wa’l ard
wa lā Yaūduhu hifzuhumā
wa Huwa’l ‘Aliyyu’l Azīm


(Recite once)

The (Prophetic) Messenger believed
in what was revealed to him from his Lord,
and (so did) the believers;
they all believed in Allāh
and His Angels and His Books
and His (Prophetic) Messengers;
(they said) we make no distinction
between any of His (Prophetic) Messengers;
and they said: we hear and we obey,
(Grant us) Your forgiveness Our Lord,
and to You is the eventual return.

Āmana’r Rasūlu
bimā unzila ilayhi min Rabbihi
wa’l mu’minūn
kullun āmana Billāhi
wa Malāikatihi wa Kutubihi
wa Rusulih
lā nufarriqu
bayna ahadin min Rusulih
wa qālū sami‘nā wa ata‘nā
Ghufrānaka Rabbanā
wa Ilayka’l masīr

Allāh does not place on any soul a burden
but to the extent of its capacity;
for it is (the benefit of) what it has earned,
and against it (the evil of) what it has wrought:
Our Lord! Do not punish us
if we forget or make a mistake,
Our Lord! Do not lay on us such a burden
as You did lay
on those before us;
Our Lord! Do not impose upon us
that which we do not have the strength to bear;
and pardon us and grant us forgiveness
and have mercy on us,
You are our Protector,
so help us against the unbelieving people.
(2: 285-286)

Lā Yukallifullāhu nafsan
illā wus‘ahā
lahā mā kasabat
wa ‘alayhā maktasabat
Rabbanā lā tuākhidhnā
in-nasīnā aw akhta’nā
Rabbanā wa lā tahmil ‘alaynā isran
kamā hamaltahu
‘alal-ladhīna min qablinā
Rabbanā wa lā tuhammilnā
mā lā tāqata lanā bih
wa‘fu ‘annā wa’ghfir lanā
wa’rhamnā
Anta Mawlānā
fa’nsurnā ‘ala’l qawmi’l kāfirīn


(Recite once)

None is worthy of worship except Allāh,
He is One, He has no partner,
His is the Kingdom and His is the praise,
He gives life and He causes death
and He is Powerful over all things.

Lā ilāha Illallāhu
Wahdahū lā sharīka lahu
Lahu’l Mulku wa Lahu’l Hamdu
Yuhyī wa Yumītu
wa Huwa ‘alā kulli shay’in Qadīr


(3 times)

Glory be to Allāh
and all praise is for Allāh
and none is worthy of worship except Allāh
and Allāh is Most Great.

SubhānAllāh
wa’l Hamdu Lillāh
wa lā ilāha Illallāhu
Wallāhu Akbar


(3 times)

Glory be to Allāh with His (Own) Praise;
Glory be to Allāh, the Exalted.

SubhānAllāhi wa bi-Hamdihi
SubhānAllāhi’l ‘Azīm


(3 times)

Our Lord, forgive us and relent towards us;
truly, You are the Forgiver, the Merciful.

Rabbana’ghfir lanā wa tub ‘alaynā
Innaka Anta’t Tawwāb u’r Rahīm


(3 times)

O Allāh! Bestow blessings on Sayyidinā Muhammad,
O Allāh! Bestow blessings on him and peace.

Allāhumma Salli ‘alā Muhammad
Allāhumma Salli ‘alayhi wa Sallim


(3 times)

I take refuge in the complete words of Allāh
from the evil in what He has created.

A‘ūdhu bi-Kalimātillāhi’t tāmmāti
min sharri mā khalaq


(3 times)

In the Name of Allāh Who causes
no harm to come together with His Name
from anything whatsoever in earth or in heaven,
for He is the All-Hearing, the All-Knowing.

Bismillāhilladhī
lā yadurru ma‘a Ismihi
shay’un fi’l ardi wa lā fi’s-samā’
wa Huwa’s Samī‘ u’l ‘Alīm


(3 times)

We are content with Allāh as Lord,
and with Islām as religion,
and with Sayyidinā Muhammad as Prophet.

Radīnā Billāhi Rabban
wa bi’l Islāmi dīnan
wa bi Muhammad-in Nabiyyā


(3 times)

In the Name of Allāh, and all praise is for Allāh,
and the good and the evil are by the Will of Allāh.

Bismillāhi wa’l Hamdu Lillāhi
wa’l khayru wa’sh sharru bi-Mashīatillāh


(3 times)

We believe in Allāh and the Last Day (of Judgment),
we repent to Allāh secretly and openly.

Āmannā Billāhi wa’l Yawmi’l Ākhir
tubnā Ilallāhi bātinan wa zāhirā


(3 times)

O Our Lord! Pardon us,
and wipe out whatever (sins) we may have committed.

Yā Rabbanā wa‘fu ‘annā
wa’mhulladhī kāna minnā


(3 times)

O The Possessor of Majesty and Honour,
cause us to die in the religion of Islām.

Yā Dha’l Jalāli wa’l Ikrām
amitnā ‘alā dīni’l Islām


(7 times)

O the Most Mighty, O the Authoritative One,
protect us from the evil of the unjust.

Yā Qawiyyu Yā Matīn
ikfi sharraz-zālimīn


(3 times)

May Allāh improve the affairs of the Muslims,
may Allāh turn away the evil of the harmful.

Aslahallāhu umūra’l Muslimīn
Sarafallāhu sharra’l mu’dhīn


(3 times)

O the Most High, O the Most Great,
O the All-Knowing, O the Powerful One,
O the All-Hearing, O the All-Seeing,
O the Gentle, O the All-Aware.

Yā ‘Aliyyu Yā Kabīr
Yā ‘Alīmu Yā Qadīr
Yā Samī‘u Yā Basīr
Yā Latīf Yā Khabīr


(3 times)

O the Dispeller of anxiety,
O the Remover of grief,
O the One Who to His servant
is Forgiving and Merciful.

Yā Fārij al-hamm
Yā Kāshif al-ghamm
Yā man li-‘abdihi
Yaghfiru wa Yarham


(3 times)

I seek forgiveness of Allāh, the Lord of all creation.
I seek forgiveness of Allāh for all mistakes.

Astaghfirullāha Rabb al-barāyā
Astaghfirullāha min al-khatāyā


(4 times)
None is worthy of worship except Allāh. Lā ilāha Illallāh

(50 or 100 times, or up to 1000 times)
Muhammad is the (Prophetic) Messenger of Allāh. Muhammad u’r Rasūlullāh

(once)

May Allāh’s blessings and peace be upon him
and his descendants;
and may He honour, ennoble, glorify and exalt him,
and may He be pleased with his purified Household,
and with his rightly guided Companions,
and with those who followed them with excellence
till the Day of Judgment.

Sallallāhu alayhi
wa ālihi wa sallam
wa sharrafa wa karram wa majjada wa ‘azzam
wa Radiya ‘an Ahli Baytihi’l Mutahharīn
wa Ashābihi’l Muhtadīn
wa’t Tābi‘īna lahum bi-ihsānin
ilā Yawm i’d-Dīn


(once)

In the Name of Allāh, the Beneficent, the Merciful.
Say: He, Allāh, is One.
Allah, the Eternally Besought.
He begets not, nor is He begotten,
and there is none like Him. (112:1-4) <

/td>

Bismillāh i’r Rahmān i’r Rahīm
Qul Huwallāhu Ahad
Allāh u’s-Samad
lam yalid wa lam yūlad
wa lam yakun Lahū kufuwan ahad


(3 times)

In the Name of Allāh, the Beneficent, the Merciful.
Say: I take refuge with the Lord of the daybreak,
from the evil of what He has created,
and from the evil of the darkness when it gathers,
and from the evil of those
who blow on knots (practicing witchcraft),
and from the evil of the envious when he envies.
(113:1-5)

Bismillāh i’r Rahmān i’r Rahīm
Qul a‘udhu bi-Rabbi’l falaq
min sharri mā khalaq
wa min sharri ghāsiqin idhā waqab
wa min sharri’n
naffāthāti fi’l ‘uqad
wa min sharri hāsidin idhā hasad


(once)

In the Name of Allāh, the Beneficent, the Merciful.
Say: I take refuge in the Lord of mankind,
the King of mankind,
the God of mankind;
from the evil of the (devilish) whisperings
of one who slinks away;
who whispers into the breasts of mankind,
from among the jinn and mankind. (114:1-6)

Bismillāh i’r Rahmān i’r Rahīm
Qul a‘ūdhu bi-Rabb-i’n-nās
Malik-i’n-nās
Ilāh-i’n-nās
min sharri’l waswāsi’l
khannās
alladhī yuwaswisu fī sudūr-i’n-nās
min al-jinnati wa’n-nās


(once)
Al-Fātiha Al-Fātiha

To the soul of our master, the foremost Muslim Jurist
Muhammad ibn ‘Alī Bā ‘Alawī
and his genealogical roots (ancestors)
and their branches (descendants),
and all our noble masters
among the descendants of the Bā ‘Alawī;
that may Allāh raise their ranks
and make us benefit from them
and from their spiritual mysteries and their lights,
in this world and in the Hereafter.

Ilā rūhi Sayyidinā al-Faqīh al-Muqaddam
Muhammad ibn ‘Alī Bā ‘Alawī
wa usūlihī
wa furū‘ihim
wa kāffati sādātinā
āli Abī ‘Alawī
Annallāha yu‘lī darajātihim
wa yanfa‘unā bihim
wa bi-asrārihim wa anwārihim
fi’d dunyā wa’l Ākhira

(Recite Sūrah al-Fātiha) (Recite Sūrah al-Fātiha)
Al-Fātiha Al-Fātiha

To the souls of our noble Sūfī masters
wherever they may be and wherever their souls may be,
that may Allāh raise their ranks
and make us benefit from them
and from their knowledge
and their spiritual mysteries;
and join us with them with goodness and well-being.

Ilā arwāhi sādātina’s Sūfiyya
aynamā kānū wa hallat arwāhuhum
Annallāha yu‘lī darajātihim
wa yanfa‘unā bihim
wa bi-‘ulūmihim
wa asrārihim
Wa yulhiqunā bihim fī khayrin wa ‘āfiya

(Recite Sūrah al-Fātiha) (Recite Sūrah al-Fātiha)
Al-Fātiha Al-Fātiha

To the soul of the compiler of the Rātib,
the Axis of Guidance
and the spiritual succour for peoples and nations,
the beloved ‘Abdullāh bin ‘Alawī al-Haddād
and his genealogical roots (ancestors)
and their branches (descendants),
that may Allāh raise their ranks
and make us benefit from them
and from their spiritual mysteries
and their lights and their blessings,
in this world and in the Hereafter.

Ilā rūhi Sāhib i’r Rātib
Qutb i’l Irshād
wa ghawth i’l ‘ibād wa’l bilād
al-Habīb ‘Abdillāh ibni ‘Alawī al-Haddād
wa usūlihī
wa furū‘ihim
Annallāha yu‘lī darajātihim
wa yanfa‘unā bihim
wa bi-asrārihim
wa anwārihim wa barakātihim
fi’d dunyā wa’l Ākhira

(Recite Sūrah al-Fātiha) (Recie Sūrah al-Fātiha)
Al-Fātiha Al-Fātiha

To the souls of all the pious servants of Allāh
and both the parents,
and all the believing men and believing women
and the Muslim men and Muslim women;
that may Allāh forgive them
and have mercy on them
and make us benefit from their spiritual mysteries
and their blessings;
and (finally Fātiha) to
the Holy Presence of Prophet Muhammad,
may Allāh’s blessings and peace
be upon him and his descendants.

Ilā arwāhi kāffati ‘Ibādillāhi’s sālihīn
wa’l wālidayni
wa jamī‘il mu’minīna wa’l mu’mināt
wa’l muslimīna wa’l muslimāt
Annallāha Yaghfiru lahum
wa Yarhamuhum
wa yanfa‘unā bi-asrārihim
wa barakātihim
wa ilā
Hadrati’n Nabiyyi Muhammad-in
Sallallāhu ‘alayhi wa Ālihi wa sallam

(Recite Sūrah al-Fātiha) (Recite Sūrah al-Fātiha)

* O The First without a beginning,
and O The Everlasting in all eternity,
and O The Possessor of Power and Firm Authority,
and O The One Who is Merciful to the poor,
and O The Most Merciful of those who show mercy,
and O Peace, bestow peace on us and all Muslims,
for the sake of the dignified status
of the master of all the (Prophetic) Messengers,
and bestow blessings and peace
on Sayyidinā Muhammad
and on his Family and Companions
and all Praise is for Allāh, Lord of the worlds.

* Yā Awwal al-awwalīn
wa Yā Ākhir al-ākhirīn
wa Yā Dha’l Quwwati’l Matīn
wa Yā Rāhim al-masākīn
wa Yā Arham ar-rāhimīn
wa Yā Salāmu Sallimnā wa’l Muslimīn
bi jāhi
Sayyidi’l Mursalīn
wa Sallallāhu
‘alā Sayyidinā Muhammad-in
wa ‘alā Ālihī wa Sahbihī wa Sallim
wa’l Hamdu Lillāhi Rabb i’l ‘ālamīn

O Allāh, we ask of You
for Your Good Pleasure and Paradise,
and we seek Your Protection
from Your displeasure and from hell-fire.

Allāhumma innā nas’aluka
Ridāka wa’l jannah
wa na‘ūdhu bika
min sakhatika wa’n nār


(3 times)
(End of Rātib) (End of Rātib)

Diposting oleh MU-MHU HADDAD

Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten

Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 16311692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten Riwayat Perjuangan

Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.

Silsilah Sultan Ageng Tirtayasa

.Sultan Ageng Tirtayasa @ Sultan 'Abdul Fathi Abdul Fattah bin

.Sultan Abul Ma'ali bin

.Sultan Abul Mafakhir bin

.Sultan Maulana Muhammad Nashruddin bin

.Sultan Maulana Yusuf bin

.Sultan Maulana Hasanuddin bin sunan gunung jati

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
Perkembangan terakhir menguatkan pendapat bahwa Fatahillah adalah orang yang berbeda dengan Sunan gunung Jati.
Kepastian terakhir ini adalah dari pihak resmi Keraton Cirebon (wawancara dengan Sultan Sepuh Cirebon oleh majalah GATRA beberapa tahun lalu) , dan sebagai bukti ada 2 makam yang bebeda satu dengan nama Sunan Gunung Jati, satu lagi dengan nama Fatahillah.
Berita-berita Portugis dan pajajaran juga menyebut 2 nama berbeda.
Fatahillah diangkat menjadi panglima dan Mantu Sunan Gunung jati karena gugurnya Pati Unus di Malaka, 2 artikel ini Pati Unus dan Fatahillah sangat berhubungan dan saling melengkapi, inilah teknik analisis yang banyak digunakan Sejarawan dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam sejarah.
Kalau tidak menggunakan teknik analisis kesamaan tahun, tempat, kemiripan lafal dsj maka kita akan mendapatkan sejarah bangsa yang terpotong-potong seperti sekarang ini.
Riwayat kesultanan Banten, Demak, Cirebon dan bahkan Malaka sangat berhubungan karena satu keturunan dari Gujarat dan Parsi..juga dibuktikan oleh tulisan Raffless dan sejarawan asing lainnya tentang kemunculan kerjaan-kerajaan islam abad 15-17 berkaitan erat dengan hijrahnya para pedagang dan muballigh parsi dan gujarat ke Asia Timur dan Asia tenggara.
Sebagian besar dari mereka adalah para Ulama keturunan Nabi Muhammad, catatan ini banyak sekali dan dikutip oleh Muhammad Bagir, penulis asal bandung dalam menterjemah risalah al Muawanah dimana terdapat silsilah para Sultan Jawa yang memang sampai kepada Ulama besar (Syekh Mawlana Akabar) di Gujarat.

Diposting oleh MU-MHU HADDAD

Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk mem­bicarakan sekitar 'Perang Jawa', sebaiknya kita ber­bicara serba sedikit tentang pelaku-pelaku utama dari perang Jawa tersebut, untuk mendapat gambaran mengenai corak perang yang menggoncangkan.eksistensi kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.

Pangeran Diponegoro, menurut Babad Diponegoro yang ditulisnya sendiri di Penjara Menado, menceritakan bahwa ia sejak muda telah mengabdi pada agama, mengikuti jejak dan hidup moyangnya yang sangat taat pada agama. Moyangnya itu tinggal di Tegalrejo. Untuk menghindari diri dari pengaruh kraton Yogyakarta, ia tinggal bersama neneknya di Tegalrejo.

Di tempat ini, selain memperdalam pengetahuannya tentang Islam, ia juga secara tekun untuk melaksanakan ketentuan-­ketentuan syari'at Islam. Hal ini menyebabkan ia kurang senang mengikuti kakeknya Sultan Yogyakarta dan karenanya jarang sekali datang di kraton, kecuali pada waktu perayaan Grebeg, seperti perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha dimana kehadirannya diharuskan.

Pada waktu ia berumur 20 tahun telah berhasrat hidup sebagai fakir (sufi), sehingga seringkali keliling mengunjungi masjid, di mana ia dapat bergaul dengan para santri. Di bagian lain dari bukunya itu, Diponegoro bercerita, ketika ia sedang berada di gua Secang, ia dikunjungi oleh seorang berpakaian haji yang mengaku dirinya utusan Ratu Adil, yang meminta pada Diponegoro untuk menemuinya di puncak gunung yang bernama gunung Rasamani, seorang diri.

Diponegoro segera mengikuti utusan itu hingga sampai di puncak gunung. Di sana ia berjumpa dengan Ratu Adil yang memakai serban (ikat kepala model Arab) hijau dan jubah (pakaian khas Arab yang panjang dengan lengan tangan lebar pula) dari sutera; dengan celana dari sutera juga. Ratu Adil mengatakan kepada Abdul Hamid (Diponegoro) bahwa sebabnya ia me­manggil Diponegoro adalah karena ia mewajibkannya untuk memimpin prajuritnya untuk menaklukkan Pulau Jawa. Kalau ada orang yang menanyakan padanya, kata Ratu Adil, "siapa yang memberi kuasa padanya?" Diponegoro harus menjawab, bahwa: "yang memberi kuasa padanya adalah Al-Qur'an".

Di bagian lain Diponegoro menceritakan, bahwa pada suatu waktu, ketika ia duduk di bawah pohon beringin, ia mendengar suara yang mengatakan bahwa ia akan diangkat menjadi Sultan Erucakra, Sayidina Panatagama, Khalifah daripada Rasulullah.

Oleh karena itu Diponegoro dalam memimpin "Perang Jawa" ini senantiasa diwarnai oleh ajaran Islam dan bahkan berusaha agar syari'at Islam itu tegak di dalam daerah kekuasaannya.

Hal ini dapat dilihat dari surat Diponegoro yang ditujukan kepada penduduk Kedu, yang ditulis dalam bahasa Jawa, antara lain berbunyi "Surat ini datangnya dari saya Kanjeng Gusti Pungeran Diponegoro bersama dengan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta Adiningrat kepada sekalian sahabat di Kedu, menyatakan bahwa sekarang kami sudah minta tanah Kedu. Hal ini harus diketahui oleh semua orang baik laki-laki maupun perempun, besar atau kecil tidak usah kami sebutkan satu demi satu. Adapun orang yang kami suruh bernama Kasan Basari. Jikalau sudah menurut surat undangan kami ini, segeralah sediakan senjata, rebutlah negeri dan 'betulkan agama Rasul'. Jikalau ada yang berani tidak mau percaya akan bunyi surat saya ini, maka dia akan kami penggal lehernya…" Kamis tanggal 5 bulan Kaji tahun Be (31 Juli 1825).

Kiai Mojo adalah seorang ulama terkenal dari daerah Mojo Solo. Ia adalah seorang penasehat keagamaan Diponegoro yang memberikan corak dan jiwa Islam kepada perjuangan yang dipimpinnya. Disamping penasehat Diponegoro, ia juga memimpin pasukan bersama-sama anaknya di daerah Solo.

Sebelum 'perang Jawa' pecah, ia telah berkenalan erat dengan Diponegoro, sehingga tatkala perang di­cetuskan ia bersama anaknya Kiai GazaIi dan para santrinys bergabung dengan pasukan Diponegoro.

Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) adalah putera Raden Rangga Prawiradirja III yang gugur di dalam pertempuran melawan pasukan Belanda. Ibu Prawiradirja (nenek Alibasah) adalah puteri Sultan Hamengku Buwono I. Jadi apabila dilihat dari silsilah keturunannya, ia adalah keturunan kraton Yogyakarta yang mempunyai hubungan darah dengan Diponegoro. Dilihat dari namanya, ia adalah seorang muslim.

Pada saat 'perang Jawa' pecah, Alibasah masih muda sekali yaitu berumur 16 tahun. Sebagai remaja yang penuh semangat perjuangan yang diwarisi dari ayahnya, pengaruh agama Islam juga sangat besar dari tokoh utama perang Jawa, yaitu Diponegoro dan Kiai Mojo.

Dilihat dari para pelaku utama dalam Perang Jawa ini dapat disimpulkan bahwa Islam memegang peranan penting dalam memberikan motivasi dan inspirasi untuk menentang kezaliman dan tirani yang bertitik kul­minasi dengan meletusnya petang tersebut. Kesimpulan ini sejalan dengan tulisan W.F. Wertheim yang antara lain menyatakan bahwa faktor baru muncul pada abad ke-19, di mana daerah-daerah di Indonesia rakyat tani banyak yang masuk Islam. Hal ini memperkuat posisi para kiai, karena sekarang mereka dapat mengandalkan untuk mendapatkan dukungan kuat dari rakyat.

Para penguasa kolonial Belanda terus menerus konfrontasi dengan sultan-sultan Indonesia mendorong mereka untuk mempersatukan.diri dengan para kiai serta mengibarkan bendera Istam, sultan-sultan itu dapat mengobarkan pemberontakan umum. Ini dapat disaksikan dalam perang Jawa, perang Bonjol, perang Aceh. Lebih daripada itu keadaan perang ternyata menambah prestise dan kekuatan para 'ekstremis' di antara kiai itu untuk menggunakan senjata "Perang Sabil".

Sebagaimana telah diuraikan di muka bahwa Sultan Hamengku Buwono II dinobatkan pada tanggal 2 April 1792. Dalam masa kesultanannya, Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah mengeluarkan peraturan yang men­sederajatkan pejabat-pejabat Belanda seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-­upacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan Belanda) yang dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula. Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi bupati-wedana Mancanegara Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda, untuk diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman.

Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi ke­kalahan berakhir bagi pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran, dan Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta dan digantikan oleh puteranya Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan Raja.

Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh.

Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya Daendels secara sewenang-wenang menurunkan­nya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.

Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan rakus berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu pasukan Inggeris menyerbu Belanda, di mana akhirnya Belanda menyerah kalah di Kali Tunntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasa­an antara Belanda kepada Inggeris, dipergunakan se­baik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II) untuk merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan bahkan sultan sepuh memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena persekongkolannya dengan Belanda.

Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Guber­nur Jenderal penguasa kolonial Inggeris di Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap mengakui Sultan sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom.

Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto sebagai warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom (Sultan

Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggeris. Pertentangan ini menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan sepuh ditangkap dan dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggeris menjadi Sultan Hamengku Buwono III pada tanggai 28 Juni 1812.

Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I; dan Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813).

Hal ini tentu saja suatu pukulan hebat bagi kesultan­an Yogyakarta dan bagi para bangsawannya, karena kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut dan banyak yang hilang.

Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah kepada orang-orang swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk mem­peroleh penghasilan bagi penguasa kolonial Inggeris. Disamping itu Raffles banyak membawa perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara lain mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerab:kan sepertiga dari hasil buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk natura maupun uang.

Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III wafat dalam usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom yang bernama Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik Diponegoro dari lain ibu.

Karena usia sultan masih sangat muda, maka di­bentuklah sebuah 'Dewan Perwalian' dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai wakil sultan. Dalam priode ini, pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai wakil pemerintah kolonial Inggeris di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember 1822 wafat; ia diganti­kan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25 Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V Karena Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk 'Dewan Perwalian' yang terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perem­puan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman Diponegoro) dan Diponegoro sendiri.

Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentu­kan oleh penguasa kolonial Belanda, yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka Diponegoro menolak menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini dijadikan dasar untuk memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan para kolaborator dari kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi sultan.

Peran penguasa kolonial Belanda dan Inggeris yang seenaknya mengotak-atik pemegang tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah kekuasa­annya dengan jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta membebani rakyat dengan berbagai tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi, adalah masalah yang susun susul-menyusul, yang menumbuhkan kebencian dan kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mem­punyai harga diri dan cinta terhadap kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman dan tirani, baik yang dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan Cina sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan, bahkan sampai ke kraton.

Dominasi Cina di dalam bidang ekonomi dan sosial, yang mulai sejak Sultan Agung Mataram (1613-1646) sampai dengan Sultan Hamengku Buwono III (1812-­1814), dimana sebagian orang kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah kekuasaan sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813), adalah. bentuk-bentuk kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan kesultanan Mataram dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan dengan syahbandar-syahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina, penyewaan tanah yang jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang di­monopoli oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat dan sengsara.

Padahal sejak kehadiran Penguasa kolonial Belanda di Indonesia sampai saat keruntuhan Mataram, Cina senantiasa membantu dan bekerjasama dengan pe­nguasa kolonial Belanda menghancurkan kesultanan Mataram. Letusan perang Jawa ini hanya tinggal me­nunggu waktu yang tepat saja lagi. Api penyulut cukup sebatang korek api, tetapi lalang kering kerontang yang kena sulutan korek api itu akan meledak menjadi kebakaran yang sulit untuk dipadamkan.

Moment yang tepat itu ternyata sederhana sekali, yaitu pada pertengahan tahun 1825, tepatnya pada awal Juli 1825, Patih Danureja IV, kolabolator Belanda yang setia, telah memerintahkan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan, di mana antara lain menembus tanah milik Diponegoro dan neneknya di Tegalrejo. Penggunaan tanah milik Diponegoro untuk jalan tanpa sepengetahuan Diponegoro sebagai pemilik­nya. Oleh karena itu Diponegoro memerintahkan pegawai-­pegawainya untuk mencabut tonggak-tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan oleh Patih Danureja IV. Tindakan Diponegoro ini diikuti oleh protes keras dan menuntut supaya Patih Danureja dipecat dari jabatannya. Tetapi A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di Yogyakarta menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV.

Suasana tegang ini dikeruhkan oleh informasi yang menyatakan bahwa penguasa kolonial Belanda akan menangkap Diponegoro. Mendengar berita ini, rakyat yang telah dendam dan marah terhadap penguasa kolonial Belanda berkumpul menyatakan setia untuk membela dan mempertahankan Diponegoro, jika rencana penangkapan itu terjadi. Ketegangan ini menimhulkan kegelisahan

Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senan­tiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: "Saudara-saudara di tanah dataran! Apabila saudura-­saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang men­cintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur." Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!

Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang ber­sama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan 'perang sabil' ter­hadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-­Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai'ah (janji setia perjuangan).

Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert meng­utus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat

kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan "Perang Jawa".

Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi "Perang Jawa" yang dahsyat.

Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik "serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi", merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuh­kan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.

Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus­kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro.

Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas.

Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me­ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me­nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar

Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.

Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Dipo­negoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan

Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal.

Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai pang­lima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta me­nyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V.

Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang me­lumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me­lumpuhkan pasukan Diponegoro.

Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya.

Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan "sistem benteng" dalam operasi militer­nya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan se­hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan men­jadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh.

Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan.

Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-­benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain.

Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-­benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain.

Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro.

Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya

beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik.

Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.

Walau demikian, pukulan hebat ini tidak me­nyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto.

Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten.

Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apa­pun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo.

Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.

Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan

perundingan per­damaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng­gung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari'at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda.

Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-­daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta.

Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan ­Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri.

Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ­bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.

Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.

Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda.

Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini.

Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.

Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan.

Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian­-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.

Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan per­tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari.

Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya diper­gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya.

Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Dipo­negoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas per­juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba ter­dengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me­merintahkan agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.

Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda ­remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali­basah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai.

Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan.

Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka.

Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis­pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock.

Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda.

Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangku­bumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ter­nyata gagal.

Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja.

Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap "kantong kantong" persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper­gunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil me­lemahkan semangat tempur Diponegoro.

Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.

Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat per­tempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro.

Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibat­kan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold.

Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangku­bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.

Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 Sep­tember 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 Septem­ber 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukan­nya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda.

Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerin­tah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang 'hadiah besar' bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: "Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas".

Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.

Bulan September 1829 benar-benar bulan yang me­nyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta.

Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangku­bumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerah­nya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro.

Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:

(a) Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-

(b) Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai­an seragam;

(c) Memberikan 400 - 500 pucuk senjata api;

(d) Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ­

(e) Mereka bebas menjalankan agamanya,

(f) Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;

(g) Diizinkan pasukannya memakai surban.

Tawar-inenawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali­basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia.

Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, ter­tanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: "...saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha me­nyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ..... seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus di­sertai beberapa pengorbanan dari pada kita."

Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: "Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus diper­gunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak.

Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia me­menuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintah­kan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lain­nya seluruhnya dipenuhi.

Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.

Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali­basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-­tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di­alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggal­kannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau me­nyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan!

Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna mem­berikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus­-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri).

Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.

Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan per­tama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen.

Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia.

Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilaku­kan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih ter­lalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan pe. rundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda.

Pada tanggal 21 Feb­ruari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan.

Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat peng­inapan perundingan di Magelang.

Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawal­an dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap!

Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan di­langsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara.

Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock.

Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah mem­berikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.

Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: "Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari."

Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: "Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa". Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya.

Tanda-tanda perundingan babak pertama akan me­nemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe­rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: "Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas."

Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : "Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal."

Jenderal De Kock berkata lagi: "Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi." Diponegoro menjawab: "Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?"

Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.

Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk se­lanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pem­buangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun.

Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang ber­dasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari'at

Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa.

Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianat­an bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda-Kristen yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda-Kristen.

Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian pe­nguasa kolonial Barat-Kristen di Indonesia, baik Portugis-Kristen Katholik maupun Belanda-Kristen Protestan.

Diposting oleh MU-MHU HADDAD
Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger template by blog forum